PP Nomor 8 Tahun 2021
PP Nomor 8 Tahun 2021
Perseroan Terbatas sebagaimana dimaksud Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 40 tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas adalah “Badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam undang-undang ini serta peraturan pelaksanaannya”. Definisi tersebut di atas menggambarkan bagaimana Perseroan Terbatas (PT) adalah badan hukum artificial yang mampu bertindak melakukan perbuatan hukum melalui wakilnya, oleh karena itu perseroan juga merupakan subjek hukum mandiri yang mempunyai hak dan kewajiban hukumnya sendiri.[1] Perseroan Terbatas menjadi subjek hukum dan entitas hukum (rechtpersoon) yang terpisah dan independen dari pemegang sahamnya, begitu pula terhadap harta Perseroan Terbatas yang terpisah dari harta kekayaan pribadi para pengurus atau anggotanya.
Pemisahan tersebut kemudian menimbulkan sesuatu yang dikenal sebagai “corporate veil” dimana corporate veil memberikan perlindungan hukum kepada pemegang saham atas tanggung jawab keuangan perusahaan.
Hal tersebut juga disebut sebagai limited liability sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 3 ayat (1) UU No 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas menyatakan “Pemegang saham Perseroan tidak bertanggung jawab secara pribadi atas perikatan yang dibuat atas nama Perseroan dan tidak bertanggung jawab atas kerugian Perseroan melebihi saham yang dimiliki.“
Namun dalam beberapa keadaan tertentu, terdapat situasi di mana corporate veil dapat ditembus dan mengakibatkan pemegang saham perusahaan dapat dimintakan pertanggungjawaban atas tindakan perusahaan.
“Piercing the corporate veil” adalah istilah yang sering digunakan untuk menggambarkan situasi di mana pengadilan atau otoritas hukum memperlakukan perseroan terbatas sebagai satu entitas dengan pemegang sahamnya, sehingga mengabaikan pemisahan hukum antara perusahaan dan pemegang sahamnya. Dalam situasi ini, pemegang saham dapat dianggap bertanggung jawab secara pribadi atas tindakan perusahaan, terlepas dari perlindungan yang diberikan oleh status badan hukum.
Tidak jarang terdapat keadaan dimana dalam suatu proses pendirian Perseroan Terbatas yang memerlukan waktu sejak dibuatnya Akta Pendirian Perseroan yang memuat Anggaran Dasar sampai dengan diterbitkannya Keputusan Menteri Hukum dan HAM harus diambil suatu Corporate Action yang bersifat segera dan perlu menggunakan nama perusahaan, bahkan ketika di mana dalam keadaan tersebut Perseroan yang didirikan belum secara sah memperoleh status badan hukum sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 7 ayat (4) UUPT yang menyatakan “Perseroan memperoleh status badan hukum pada tanggal diterbitkannya Keputusan Menteri mengenai pengesahan badan hukum Perseroan”.
Corporate Action bagi perseroan yang belum berstatus Badan Hukum hanya dapat dilakukan oleh semua anggota Direksi bersama-sama semua pendiri (Pemegang Saham) serta semua anggota Dewan Komisaris Perseroan dan mereka semua bertanggung jawab secara tanggung renteng atas perbuatan hukum tersebut[1], berarti Corporate Action diambil oleh Direksi, Dewan Komisaris, serta seluruh Pemegang Saham Perseroan tanpa terkecuali dan atas Corporate Action harus dipertanggungjawabkan secara tanggung renteng oleh seluruh Direksi, Dewan Komisaris, serta seluruh Pemegang Saham Perseroan. Corporate Action seperti ini selanjutnya demi hukum menjadi tanggung jawab Perseroan setelah Perseroan menjadi badan hukum.[2]
Sebaliknya, apabila suatu Corporate Action diambil hanya dilakukan oleh salah satu dari Direksi, Dewan Komisaris, atau Pemegang Saham Perseroan, maka Corporate Action tersebut menjadi tanggung jawab pendiri yang bersangkutan dan tidak mengikat Perseroan.[3] Corporate Action tersebut baru dapat mengikat dan kemudian diambil alih menjadi tanggung jawab Perseroan setelah perbuatan hukum tersebut disetujui oleh semua pemegang saham dalam RUPS pertama yang harus diselenggarakan paling lambat 60 (enam puluh) hari setelah Perseroan memperoleh status badan hukum dan dihadiri oleh semua pemegang saham Perseroan.[4]
Pemegang saham, anggota Direksi, ataupun Dewan Komisaris Perseroan harus berhati-hati dalam mengambil Corporate Action pada masa di mana perseroan belum memiliki status badan hukum. Mereka dapat dipertanggungjawabkan secara pribadi dan tak terbatas atas semua kewajiban perusahaan yang timbul oleh karena limited liability sebagaimana dimaksud Pasal 3 ayat (1) UU No 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas tidak berlaku terhadap Perseroan yang belum menjadi Badan Hukum sebagaimana ditegaskan Pasal 3 ayat (2) huruf (a) UU No 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas yang menyatakan “Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku apabila: persyaratan Perseroan sebagai badan hukum belum atau tidak terpenuhi”;
Dalam situasi di mana perseroan belum memiliki status badan hukum, Doktrin piercing the corporate veil menjadi relevan dalam memberikan beban tanggung jawab atas Corporate Action yang merugikan pihak ketiga. Pasal-pasal dalam UU Perseroan Terbatas yang mengatur tanggung jawab pemegang saham dan sebaliknya memberikan perlindungan kepentingan pihak ketiga memberikan dasar hukum yang dapat digunakan dalam kasus-kasus di mana perseroan belum memperoleh status badan hukum. Pemegang saham harus berhati-hati dan bertanggung jawab dalam mengambil corporate action untuk mencegah potensi pertanggungjawaban pribadi yang tidak diinginkan.