STRATEGI BAGI PERUSAHAAN PERKEBUNAN MENGHINDARI TUDUHAN PELAKU KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN

MENGHINDARI TUDUHAN PELAKU KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN

Penegakan hukum karhutla pada perusahaan dilakukan pemerintah sebenarnya bukan untuk mengejar kesalahan, namun dibentuk untuk memberi efek jera, sekaligus melakukan pembinaan. Namun faktanya terkadang Pemegang izin lah yang paling disorot untuk wajib bertanggung jawab atas areal konsesinya meskipun di luar areal tanpa memperhatikan upaya-upaya yang apa telah disupport oleh Pemerintah setempat.

Read More

TATA CARA PENDAFTARAN, PERUBAHAN, PENGHAPUSAN/ PENCORETAN SERTIFIKAT JAMINAN FIDUSIA DAN PENGAJUAN PERMOHONAN SERTIFIKAT PENGGANTI JAMINAN FIDUSIA

Pengertian :

  1. Fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda.
  2. Jaminan Fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan pemberi fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada penerima fidusia terhadap kreditor lainnya.

Dasar Hukum:

  1. Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia;
  2. Peraturan Pemerintah Nomor 86 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pendaftaran Jaminan Fidusia dan Biaya Pembuatan Akta Jaminan Fidusia;
  3. Peraturan Pemerintah Nomor 87 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 1999 tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Departemen Hukum;
  4. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 139 Tahun 2000 tentang Pembentukan Kantor Pendaftaran Fidusia di Setiap Ibukota Propinsi di Wilayah Negara Republik Indonesia;
  5. Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M-01.UM.01.06 Tahun 2000 tentang Bentuk Formulir dan Tata Cara Pendaftaran Jaminan Fidusia;
  6. Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.08-PR.07.01 Tahun 2000 tentang Pembukaan Kantor Pendaftaran Jaminan Fidusia;
  7. Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M-03.PR.07.10 Tahun 2001 tentang Pembukaan Kantor Pendaftaran Fidusia di Seluruh Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia;
  8. Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M-02.PR.07.10 Tahun 2002 tentang Perubahan Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M-03.PR.07.10 Tahun 2001 tentang Pembukaan Kantor Pendaftaran Fidusia di Seluruh Kantor Wilayah Depertemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia;
  9. Surat Edaran Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum Nomor C.UM.01.10-11 Tahun 2001 tentang Penghitungan Penetapan Jangka Waktu Penyesuaian dan Pendaftaran Perjanjian Jaminan Fidusia.
  10. Surat Edaran Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum Nomor C.UM.02.03-31 tanggal 8 Juli 2002 tentang Standarisasi Laporan Pendaftaran Fidusia dan Registrasi.
  11. Surat Edaran Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum Nomor C.HT.01.10-22 Tahun 2005 tentang Standarisasi Prosedur Pendaftaran Jaminan Fidusia.

Persyaratan:

  1. Surat permohonan Pendaftaran Jaminan Fidusia diajukan kepada Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia.
  2. Salinan akta Notaris.
  3. Surat kuasa/surat pendelegasian wewenang atau wakilnya dengan melampirkan pernyataan Jaminan Fidusia.
  4. Melampirkan lembar pernyataan (Lampiran I Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M-01.UM.01.06 Tahun 2000 – angka 5)
  5. Bukti pembayaran Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).

Prosedur:

  1. Pendaftaran Sertifikat Jaminan Fidusia:

    Permohonan diajukan kepada Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia melalui Kantor Pendaftaran Fidusia di tempat kedudukan pemberi fidusia secara tertulis dalam bahasa Indonesia oleh penerima fidusia, kuasa atau wakilnya, dengan melampirkan pernyataan Pendaftaran Jaminan Fidusia dan mengisi formulir yang bentuk dan isinya ditetapkan dengan Lampiran I Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M-01.UM.01.06 Tahun 2000, yang isinya:
    1. Identitas pihak pemberi dan penerima yang meliputi:
    • Nama lengkap;
    • Tempat tinggal/tempat kedudukan;
    • Pekerjaan
    1. Tanggal dan nomor akta Jaminan Fidusia, nama dan tempat kedudukan Notaris yang memuat akta Jaminan Fidusia;
    2. Data perjanjian pokok yaitu mengenai macam perjanjian dan utang yang dijamin dengan fidusia;
    3. Uraian mengenai benda yang menjadi obyek Jaminan Fidusia (Lihat penjelasan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999);
    4. Nilai penjamin;
    5. Nilai benda yang menjadi obyek Jaminan Fidusia.
  1. Perubahan Sertifikat Jaminan Fidusia:

    1. Permohonan diajukan oleh penerima fidusia, kuasa atau wakilnya kepada Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia secara tertulis dalam bahasa Indonesia melalui Kantor Pendaftaran Fidusia Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum, apabila Sertifikat Jaminan Fidusia dikeluarkan oleh Kantor Pendaftaran Fidusia Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum
    2. Melampirkan Sertifikat Jaminan Fidusia dan pernyataan perubahan;
    3. Biaya permohonan;
    4. Pernyataan perubahan dilakukan pada tanggal yang sama dengan tanggal pencatatan permohonan, setelah selesai dilekatkan pada Sertifikat Jaminan Fidusia untuk diserahkan kepada pemohon yaitu penerima fidusia, kuasa atau wakilnya;
    5. Melampirkan Lembar Pernyataan Lampiran II Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.01.UM.01.06 Tahun 2000.
  2. Penghapusan/pencoretan Sertifikat Jaminan Fidusia:

    1. Hapusnya Jaminan Fidusia wajib diberitahukan secara tertulis kepada Kantor Pendaftaran Fidusia paling lambat 7 hari setelah hapus;
    2. Lampiran dokumen pendukung:
    • Permohonan oleh penerima fidusia, kuasa atau wakilnya pada Kantor Pendaftaran Fidusia di tempat kedudukan pemberi fidusia;
    • Sertifikat Jaminan Fidusia yang asli.
    1. Kantor Pendaftaran Fidusia mencoret pencatatan Jaminan Fidusia dari Buku Daftar Fidusia;
    2. Kantor Pendaftaran Fidusia menerbitkan surat keterangan yang menyatakan Sertifikat Jaminan Fidusia yang bersangkutan tidak berlaku lagi dan sertifikat dicoret dan disimpan dalam arsip Kantor Pendaftaran Fidusia.
  3. Sertifikat Pengganti.

    1. Apabila rusak atau hilang, permohonan diajukan oleh penerima fidusia, kuasa atau wakilnya kepada Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia secara tertulis dalam bahasa Indonesia;
    2. Surat keterangan hilang dari kepolisian atas permohonan yang bersangkutan;
    3. Sertifikat Pengganti diterbitkan dengan nomor dan tanggal yang sama dengan yang rusak atau hilang;
    4. Penyerahan pada tanggal yang sama dengan penerimaan permohonan Sertifikat Pengganti;
    5. Biaya permohonan Sertifikat Pengganti.
  4. Cara Kerja Pejabat Penerima Pendaftaran Jaminan Fidusia.

    1. Memeriksa kelangkapan persyaratan permohonan;
    2. Apabila tidak lengkap, maka langsung dikembalikan;
    3. Apabila Lengkap:
    • Pejabat mencatat Jaminan Fidusia dalam Buku Daftar Fidusia pada tanggal yang sama dengan tanggal penerimaan permohonan;
    • Sertifikat Jaminan Fidusia diterbitkan dan diserahkan kepada pemohon pada tanggal yang sama dengan tanggal pencatatan sesuai Surat Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.01.UM.01.06 Tahun 2000.

    Dalam Sertifikat Jaminan Fidusia dicantumkan kata-kata “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”. Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999.

  5. Catatan

    Sesuai dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 139 Tahun 2000 jo. Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.03.PR.07.10 Tahun 2001 jo. Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.02.PR.07.10 Tahun 2002:

    1. Sejak tanggal 1 April 2001 Kantor Pendaftaran Fidusia Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum sudah tidak lagi melakukan Pendaftaran Sertifikat Jaminan Fidusia dan pendaftaran dilaksanakan di Kantor Pendaftaran Fidusia pada Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia di tempat kedudukan pemberi fidusia;
    1. Sejak tanggal 8 Juli 2002 Kantor Pendaftaran Fidusia Direktorat Perdata Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum difungsikan untuk melakukan perubahan, penghapusan/pencoretan dan mengeluarkan Sertifikat Pengganti atas sertifikat yang terdaftar dan didaftar pada Kantor Pendaftaran Fidusia Direktorat Perdata Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum, dan melakukan pemantauan dan pembinaan teknis terhadap pelaksanaan Pendaftaran Jaminan Fidusia oleh Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia;

    Alur pendaftaran jaminan fidusia DIREKTORAT ADMINISTRASI HUKUM UMUM DEPARTEMEN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA TERLAMPIR
    ALUR PENDAFTARAN JAMINAN FIDUSIA

Read More

Mengenal Doktrin “Prejudicieel Geschil”

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 1 TAHUN 1956

Pasal 1

Apabila dalam pemeriksaan perkara pidana harus diputuskan hal adanya suatu hal perdata atas suatu barang atau tentang suatu hubungan hukum antara dua pihak tertentu, maka pemeriksaan perkara pidana dapat dipertangguhkan untuk menunggu suatu putusan pengadilan dalam pemeriksaan perkara perdata tentang adanya atau tidak adanya hak perdata itu.

Pasal 2

Pertangguhan pemeriksaan perkara pidana, ini dapat sewaktu-waktu dihentikan, apabila dianggap tidak perlu lagi.

Pasal 3

Pengadilan dalam pemeriksaan perkara pidana tidak terikat oleh suatu putusan Pengadilan dalam pemeriksaan perkara perdata tentang adanya atau tidak adanya suatu hak perdata tadi.

 

SURAT- EDARAN NO.4 TAHUN 1980

  1. “Prejudicieel geschil” ini ada yang merupakan suatu “question prejudicielle a l ‘action” dan ada yang merupakan suatu “question prejudicielle au jugement”
  2. “Question Prejudicielle al’action adalah mengenai perbuatan perbuatan pidana tertentu yang disebut dalam KUHP (antara lain Pasal 284 KUHP);
  3. dalam hal ini diputuskan ketentuan perdata dulu sebelum dipertimbangkan penuntutan pidana.
  4. “Question Prejudicielle au Jugement” menyangkut permasalahan yang diatur dalam pasal 81 KUHP; pasal tersebut sekedar memberi kewenangan, bukan Kewajiban, kepada Hakim Pidana untuk menangguhkan pemeriksaan, menunggu putusan Hakim Perdata mengenai persengketannya.

Diminta perhatian, bahwa andaikan Hakim hendak mempergunakan lembaga hukum ini, Hakim pidana tidak terikat pada putusan Hakim Perdata yang bersangkutan seperti dinyatakan dalam Peraturan;

Read More

Pemotongan Gaji Karyawan pada Perusahaan Terdampak COVID-19

Pandemi COVID-19 memberikan berbagai dampak bagi beberapa perusahaan, terutama perusahaan-perusahaan yang berada pada zona penyebaran virus. Mulai dari karyawan yang dinyatakan sebagai ODP sampai dengan penutupan perusahaan karena kerugian yang diderita akibat adanya kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).

Seperti yang sudah diketahui, perusahaan yang tidak dikecualikan dalam masa PSBB harus membatasi kegiatan usahanya. Salah satu tindakan perusahaan untuk menjaga kelangsungan usaha adalah dengan memotong gaji karyawan. Tetapi apakah pemotongan gaji karyawan ini dibolehkan menurut regulasi yang berlaku?

Dalam keadaan normal, aturan mengenai upah atau gaji karyawan diatur dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan Peraturan Pemerintah No. 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan.

Pengertian upah dalam Pasal 1 angka 30 UU Ketenagakerjaan adalah hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang-undangan, termasuk tunjangan bagi pekerja/buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan/jasa yang telah atau akan dilakukan.

Upah atau gaji karyawan diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama sehingga pemotongan gaji karyawan juga harus sesuai dengan perjanjian yang telah dibuat.

Pada 17 Maret 2020, Menteri Ketenagakerjaan menerbitkan Surat Edaran Menteri Ketenagakerjaan RI No. M/3/HK.04/III/2020 tentang Perlindungan Buruh/Pekerja dan Kelangsungan Usaha dalam Rangka Pencegahan dan Penanggulangan COVID-19. Aturannya adalah sebagai berikut:

  1. Bagi pekerja/buruh yang dikategorikan sebagai Orang dalam Pengawasan (ODP) terkait COVID-19 berdasarkan keterangan dokter sehingga tidak dapat masuk kerja paling lama 14 hari sesuai standar Kementerian Kesehatan, maka upahnya dibayarkan secara penuh;
  2. Bagi pekerja/buruh yang dikategorikan terduga atau Pasien dalam Pengawasan (PDP) COVID-19 dan diisolasi/dikarantina menurut keterangan dokter, maka upahnya dibayarkan penuh selama menjalani masa isolasi/karantina;
  3. Bagi pekerja/buruh yang tidak masuk kerja karena penyakit COVID-19 yang dibuktikan dengan keterangan dokter, maka upahnya dibayarkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan;
  4. Bagi perusahaan yang melakukan pembatasan kegiatan usaha akibat kebijakan pemerintah daerah masing-masing dalam upaya mencegah dan menanggulangi COVID-19, sehingga menyebabkan sebagian atau seluruh pekerja/buruhnya tidak masuk kerja, dengan mempertimbangkan kelangsungan usaha maka perubahan besaran maupun cara pembayaran upah dilakukan sesuai dengan kesepakatan antara pengusaha dan pekerja/buruh.

Dengan diterbitkannya Surat Edaran Menteri Ketenagakerjaan ini, perusahaan diberikan kesempatan untuk melakukan perundingan dengan karyawan mengenai adanya kebijakan pemotongan gaji yang akan diterapkan perusahaan demi kelangsungan usaha dengan tetap memperhatikan struktur dan skala upah dalam perusahaan.

Read More

Penerapan Panduan dan Protokol New Normal di Tempat Kerja

New Normal atau Kenormalan Baru adalah langkah percepatan penanganan COVID-19 dalam bidang kesehatan, sosial, dan ekonomi. Tatanan baru ini diperlukan karena hingga saat ini vaksin dengan standar internasional masih belum ditemukan.

Dunia usaha dan masyarakat pekerja memiliki konstribusi besar dalam memutus mata rantai penularan karena besarnya jumlah populasi pekerja dan besarnya mobilitas serta interaksi penduduk umumnya disebabkan aktivitas bekerja. Tetapi keberlangsungan usaha tidak mungkin selamanya dilakukan pembatasan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dalam Rangka Percepatan Penanganan COVID-19 yang salah satunya mengatur mengenai peliburan tempat kerja.

Sebagai pedoman bagi tempat kerja yang akan memulai kembali aktivitas bekerja karena kota atau wilayahnya telah memasuki tahap New Normal, Menteri Kesehatan menerbitkan panduan umum mengenai pencegahan dan pengendalian COVID-19 di tempat kerja perkantoran dan industri melalui Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. HK.01.07/Menkes/328/2020 tentang Panduan Pencegahan dan Pengendalian Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) di Tempat Kerja Perkantoran dan Industri dalam Mendukung Keberlangsungan Usaha pada Situasi Pandemi tanggal 20 Mei 2020 dan Surat Edaran Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. HK.02.01/Menkes/335/2020 tentang Protokol Pencegahan Penularan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) di Tempat Kerja Sektor Usaha dan Perdagangan (Area Publik) dalam Mendukung Keberlangsungan Usaha tanggal 20 Mei 2020.

Tujuan diterbitkannya panduan dan protokol ini adalah untuk meningkatkan upaya tempat kerja khususnya perkantoran dan industri dalam pencegahan penularan COVID-19 bagi pekerja selama pandemi. Panduan yang diterbitkan oleh Menteri Kesehatan ini harus diterapkan di tempat kerja dan pekerja wajib mematuhi aturan dan kebijakan yang ditetapkan oleh pemilik usaha.

Dengan berpedoman kepada panduan dan protokol yang diterbitkan Menteri Kesehatan, pelanggaran yang dilakukan oleh pengelola tempat kerja, pelaku usaha, pekerja, pelanggan atau konsumen, dapat dijatuhi sanksi pidana dengan ketentuan yang ada di dalam Pasal 93 Undang-Undang No. 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, yaitu:

“Setiap orang yang tidak mematuhi penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) dan/atau menghalang-halangi penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan sehingga menyebabkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah)”.

DKI Jakarta menjadi salah satu daerah yang masuk ke dalam daftar Kabupaten/Kota yang dinyatakan telah siap menuju fase New Normal. Namun pada hari terakhir PSBB di Jakarta, tanggal 4 Juni 2020, Gubernur DKI Jakarta mengumumkan bahwa status PSBB wilayah DKI Jakarta diperpanjang tetapi menjadi PSBB Masa Transisi.

Pada tahap PSBB Masa Transisi ini, aturan mengenai penutupan tempat usaha akan dicabut tetapi beberapa ketentuan yang telah diatur dalam Peraturan Gubernur No. 51 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Pembatasan Sosial Berskala Besar pada Masa Transisi Menuju Masyarakat Sehat, Aman, dan Produktif.

Tempat kerja dan tempat usaha yang harus ditutup pada masa PSBB sebelumnya dibolehkan untuk kembali beroperasi mulai dari tanggal 8 Juni 2020. Protokol kesehatan untuk tempat kerja dan usaha yang akan beroperasi kembali ini diatur dalam Pasal 13 Peraturan Gubernur No. 51 Tahun 2020.

Pasal 13 ayat (2) Peraturan Gubernur DKI Jakarta ini mengatur mengenai tempat kerja yang mulai beroperasi kembali harus menerapkan batasan jumlah orang yaitu paling banyak 50% yang berada di dalam lingkungan tempat kerja pada waktu bersamaan dengan tetap mengikuti aturan mengenai physical distancing dan menjaga kebersihan diri dan tempat kerja. Dengan adanya aturan mengenai batasan jumlah orang yang ada di tempat kerja, maka pemilik dan pengelola tempat kerja diharuskan melakukan pengaturan hari kerja, jam kerja, shift, dan sistem kerja.

Pengawasan terhadap kewajiban-kewajiban yang diatur dalam Pasal 13 ayat (2) dilakukan oleh Dinas Tenaga Kerja, Transmigrasi dan Energi dengan pendampingan dari Perangkat Daerah terkait, unsur Kepolisian dan/atau TNI. Setiap pimpinan dan/atau penanggung jawab tempat kerja yang tidak melaksanakan kewajiban yang diatur dalam Pasal 13 ayat (2) akan dikenakan sanksi berupa teguran tertulis atau denda administratif sebesar Rp. 25.000.000,- (dua puluh lima juta rupiah).

Read More

Sanksi bagi Pelanggar PSBB

Pemerintah memberikan sanksi tegas kepada perusahaan yang tidak dikecualikan untuk beroperasi tetapi tetap beroperasi selama masa Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Sanksi yang diberikan berupa denda hingga sanksi pidana.

Pelaksanaan PSBB diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan No. 9 Tahun 2020 tentang Pedoman Pembatasan Sosial Berskala Besar dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19).

Pembatasan tersebut meliputi:

  1. Peliburan sekolah dan tempat kerja;
  2. Pembatasan kegiatan keagamaan;
  3. Pembatasan kegiatan di tempat dan fasilitas umum;
  4. Pembatasan kegiatan sosial dan budaya;
  5. Pembatasan moda transportasi; dan
  6. Pembatsan kegiatan lainnya khusus terkait aspek pertahanan dan keamanan.

Lampiran Permenkes No. 9 Tahun 2020 menyatakan adanya pengecualian peliburan tempat kerja, yaitu kantor atau instansi tertentu yang memberikan pelayanan terkait pertahanan dan keamanan, ketertiban umum, kebutuhan pangan, bahan bakar minyak dan gas, pelayanan kesehatan, perekonomian, keuangan, komunikasi, industri, ekspor dan impor, distribusi, logistik, dan kebutuhan dasar lainnya.

Pelaksanaan PSBB di wilayah DKI Jakarta diatur dalam Peraturan Gubernur Daerah Khusus Ibukota Jakarta No. 33 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Pembatasan Sosial Berskala Besar dalam Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) di Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta.

Pasal 9 ayat (1) Pergub No. 33 Tahun 2020 menegaskan bahwa selama PSBB, dilakukan penghentian sementara aktivitas bekerja di tempat kerja/kantor yang digantikan dengan aktivitas bekerja di rumah/tempat tinggal. Berdasarkan ketentuan tersebut, maka kantor/tempat kerja yang tidak dikecualikan harus menghentikan sementara aktivitas bekerja di kantor/tempat kerja dengan mengganti aktivitas bekerja di rumah/tempat tinggal.

PSBB dalam Pasal 15 ayat (2) huruf b Undang-Undang No. 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan adalah salah satu bentuk upaya kekarantinaan kesehatan. Bagi perusahaan yang tidak taat PSBB, dapat diancam dengan sanksi pidana yang diatur dalam Pasal 93  Undang-Undang No. 6 Tahun 2020 dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah).

Salah satu upaya penanggulangan wabah penyakit menular adalah dengan upaya pencegahan. Pasal 1 angka 1 Permenakes No. 9 Tahun 2020 menyatakan bahwa PSBB adalah pembatasan kegiatan tertentu penduduk dalam suatu wilayah yang diduga terinfeksi COVID-19 untuk mencegah kemungkinan penyebaran COVID-19.

Sehingga bagi perusahaan yang tidak taat PSBB dapat dianggap mengakibatkan terhalangnya penanggulangan wabah dan dapat dijatuhkan sanksi pidana sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun pidana penjara dan/atau denda setinggi-tingginya Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah) jika terbukti dengan sengaja melanggar aturan, dan pidana penjara 6 (enam) bulan pidana penjara dan/atau denda setinggi-tingginya Rp. 500.000,- (lima ratus ribu rupiah) jika terbukti karena kealpaan telah melanggar aturan dalam PSBB, yang diatur dalam Pasal 14 ayat (1) dan (2) Undang-Undang No. 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular.

Salah satu upaya penanggulangan wabah penyakit menular adalah dengan upaya pencegahan. Pasal 1 angka 1 Permenakes No. 9 Tahun 2020 menyatakan bahwa PSBB adalah pembatasan kegiatan tertentu penduduk dalam suatu wilayah yang diduga terinfeksi COVID-19 untuk mencegah kemungkinan penyebaran COVID-19.

Sehingga bagi perusahaan yang tidak taat PSBB dapat dianggap mengakibatkan terhalangnya penanggulangan wabah dan dapat dijatuhkan sanksi pidana sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun pidana penjara dan/atau denda setinggi-tingginya Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah) jika terbukti dengan sengaja melanggar aturan, dan pidana penjara 6 (enam) bulan pidana penjara dan/atau denda setinggi-tingginya Rp. 500.000,- (lima ratus ribu rupiah) jika terbukti karena kealpaan telah melanggar aturan dalam PSBB, yang diatur dalam Pasal 14 ayat (1) dan (2) Undang-Undang No. 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular.

Salah satu upaya penanggulangan wabah penyakit menular adalah dengan upaya pencegahan. Pasal 1 angka 1 Permenakes No. 9 Tahun 2020 menyatakan bahwa PSBB adalah pembatasan kegiatan tertentu penduduk dalam suatu wilayah yang diduga terinfeksi COVID-19 untuk mencegah kemungkinan penyebaran COVID-19.

Sehingga bagi perusahaan yang tidak taat PSBB dapat dianggap mengakibatkan terhalangnya penanggulangan wabah dan dapat dijatuhkan sanksi pidana sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun pidana penjara dan/atau denda setinggi-tingginya Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah) jika terbukti dengan sengaja melanggar aturan, dan pidana penjara 6 (enam) bulan pidana penjara dan/atau denda setinggi-tingginya Rp. 500.000,- (lima ratus ribu rupiah) jika terbukti karena kealpaan telah melanggar aturan dalam PSBB, yang diatur dalam Pasal 14 ayat (1) dan (2) Undang-Undang No. 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular.

Read More

PENTINGNYA VERIFIKASI OLEH KURATOR DALAM MENYUSUN DAFTAR TAGIHAN KREDITUR UNTUK MENGHINDARI PASAL 72 UU KEPAILITAN

  1. Berdasarkan Pasal 1 angka 5 UU Kepailitan, pengertian Kurator adalah Balai Harta Peninggalan atau orang perseorangan yang diangkat oleh Pengadilan untuk mengurus dan membereskan harta debitur Pailit di bawah pengawasan Hakim Pengawas.

  2. Pengurus yaitu orang yang ditunjuk, dalam hal adanya PKPU, untuk menyelenggarakan pengadministrasian proses PKPU dan mengawasi kegiatan pengelolaan usaha yang dilakukan oleh debitur dengan tujuan agar debitur tidak melakukan hal-hal yang mungkin dapat merugikan hartanya

  3. Pasal 72 berbunyi:
    “Kurator bertanggung jawab terhadap kesalahan atau kelalaiannya dalam melaksanakan tugas pengurusan dan/atau pemberesan yang menyebabkan kerugian terhadap harta pailit”

  4. Verifikasi berarti:
    Penentuan klasifikasi tentang tagihan-tagihan yang masuk terhadap harta pailit debitur, guna diperinci tentang berapa besarnya piutang-piutang yang dapat dibayarkan kepada masing-masing kreditur, yang diklasifikasikan menjadi daftar piutang yang diakui maupun yang dibantah atau yang sementara diakui (Prof. Dr. Paulus E. Lotulung,SH dalam makalah “Pencocokan Piutang yang dimuat dalam buku “Penyelesaian Utang Piutang melalui Pailit atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang”);

    Tata cara verifikasi diatur dalam Pasal 113 -143 UU Kepailitan.

  5. Tugas seorang Pengurus:
    Tugas Pengurus hanya sebatas pengadministrasian proses PKP, yaitu melakukan pengumuman, mengundang rapat-rapat kreditur, ditambah dengan pengawasan terhadap kegiatan pengelolaan usaha yang dilakukan oleh debitur dengan tujuan agar debitur tidak melakukan hal-hal yang mungkin dapat merugikan hartanya;

    Pengurus bertanggung jawab terhadap kesalahan atau kelalaiannya dalam melaksanakan tugas pengurusan yang menyebabkan kerugian terhadap harta debitur.

  1. Tugas seorang kurator pengurus:
    Tugas Kurator dalam melakukan pengurusan dan pemberesan yaitu:
            – Tugas administratif, misalnya:
      • Melakukan pengumuman (Pasal 15 Ayat 4);
      • Membuat laporan rutin kepada hakim pengawas (Pasal 74 Ayat 1);
      • Mengundang rapat kreditur (Pasal 82);
      • Mengamankan harta kekayaan debitur pailit (Pasal 98);
      • Melakukan inventarisasi harta pailit (Pasal 100 ayat 1);
      • Kurator diberikan kewenangan untuk melakukan penyegelan, bila perlu (Pasal 99 Ayat 1);


-Tugas mengurus/mengelola harta pailit
Sejak putusan pailit diucapkan, semua wewenang debitur untuk menguasai dan mengurus harta pailit termasuk memperoleh keterangan mengenai pembukuan, catatan, rekening bank, dan simpanan debitur dari bank yang bersangkutan beralih kepada kurator (Pasal 24 dan Pasal 69 UU Kepailitan);

-Melakukan penjualan/pemberesan
Melaksanakan tugas pengurusan dan/atau pemberesan atas harta pailit (penguangan aktiva untuk membayar atau melunasi utang) sejak tanggal putusan pailit diucapkan meskipun terhadap putusan tersebut diajukan kasasi atau peninjauan kembali.

Ada 3 jenis penugasan yang dapat diberikan kepada kurator pengurus dalam hal kepailitan:

a. Sebagai Kurator Sementara
Kurator Sementara ditunjuk dengan tujuan untuk mencegah kemungkinan debitur melakukan tindakan yang mungkin dapat merugikan hartanya, sebelum jalannya proses beracara pada pengadilan sebelum debitur dinyatakan pailit. Tugas utama kurator sementara adalah untuk mengawasi pengelolaan usaha debitur dan pembayaran kepada kreditur, pengalihan atau pengagunan kekayan debitur yang dalam rangka kepailitan memerlukan kurator.

b. Sebagai Pengurus
Pengurus ditunjuk dalam hal adanya PKPU. Tugas Pengurus hanya sebatas menyelenggarakan pengadministrasian proses PKPU, seperti melakukan pengumuman, mengundang rapat-rapat kreditur, ditambah dengan pengawasan terhadap kegiatan pengelolaan usaha yang dilakukan oleh debitur dengan tujuan agar debitur tidak melakukan hal-hal yang mungkin dapat merugikan hartanya.

Pengurus yang diangkat harus independen dan tidak memiliki benturan kepentingan dengan debitur atau kreditur. Yang dapat menjadi Pengurus adalah:

        1. Orang perseorangan yang berdomisili di wilayah NKRI, yang memiliki keahlian khusus yang dibutuhkan dalam rangka menurus harta debitur;
        2. Terdaftar pada kementerian yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang hukum dan peraturan perundang-undangan.

Pengurus bertanggung jawab terhadap kesalahan atau kelalaiannya dalam melaksanakan tugas pengurusan yang menyebabkan kerugian terhadap harta debitur.

c. Sebagai Kurator
Kurator diangkat pada saat debitur dinyatakan pailit. Sebagai akibat dari keadaan pailit, sejak tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan, maka debitur kehilangan hak untuk menguasai dan mengurus harta kekayaannya yang termasuk dalam harta pailit, dan oleh karena itu kewenangan pengelolaan harta pailit jatuh ke tangan kurator.

  1. Daftar Tagihan Kreditur adalah:
    Daftar yang berisi nama-nama kreditur yang mengajukan tagihan dalam tenggang waktu yang ditentukan.
  2. Daftar tagihan Kreditur dibuat oleh:
    Kurator, melalui rapat kreditur untuk mengadakan pencocokan utang (Pasal 114 dan Pasal 117)
  3. Pentingnya verifikasi oleh Kurator dalam menyusun Daftar Tagihan Kreditur:
    Pasal 116 Ayat (1) menyatakan bahwa kurator wajib mencocokkan perhitungan piutang yang diserahkan oleh kreditur dengan catatan yang telah dibuat sebelumnya dan keterangan debitur pailit.
  4. Akibat dari kesalahan membuat Daftar tagihan Kreditur:
    Terhadap kesalahan atau kelalaian kurator yang menyebabkan kerugian, debitur atau kreditur dapat melakukan upaya-upaya sebagai berikut:
    • Permohonan pengajuan penggantian kurator;
    • Actio Paulina (upaya hukum untuk membatalkan transaksi yang dilakukan oleh debitur untuk kepentingan debitur tersebut yang dapat merugikan kepentingan krediturnya);
    • Penangguhan eksekusi jaminan hutang;
  1. Perintah Pengadilan atas perubahan Daftar Tagihan Kreditur apakah membatalkan pailit atau tidak:
    Apabila penempatan suatu harta sebagai harta pailit bertentangan dengan kepentingan hukum yang merasa memiliki hak terhadap harta tersebut, maka perlawanan terhadap harta pailit dimaksud dapat dijalankan melalui gugatan lain-lain. Apabila gugatan dikabulkan maka kurator tidak berhak lagi mencantumkan harta dimaksud didalam daftar pailit.
    Pasal 127: “Dalam hal ada bantahan sedangkan Hakim Pengawas tidak dapat mendamaikan kedua belah pihak, sekalipun perselisihan tersebut telah diajukan ke Pengadilan, Hakim Pengawas memerintahkan kepada kedua belah pihak untuk menyelesaikan perselisihan tersebut di Pengadilan”.

  2. Apakah Kurator dapat dipidana atas kesalahan menyusun Daftar Tagihan Kreditur:
    Apabila dapat dibuktikan bahwa kurator membuat kesalahan atau kelalaian yang mengakibatkan kerugian harta pailit, kurator dapat ditindak secara pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 263, 264 dan 266 KUHP terkait pemalsuan surat.

Read More

PROGRAM PENSIUN MANFAAT PASTI

Berdasarkan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang No. 11 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun, Dana Pensiun adalah badan hukum yang mengelola dan menjalankan program yang menjanjikan manfaat pensiun. Program pensiun diselenggarakan oleh perorangan atau pemberi kerja yang disebut Dana Pensiun Pemberi Kerja (DPPK), bank umum atau perusahaan asuransi jiwa yang dinamakan Dana Pensiun Lembaga Keuangan (DPLK).

Terdapat 2 jenis program pensiun yang diselenggarakan Dana Pensiun DPPK maupun DPLK, yaitu:

  1. Program Pensiun Manfaat Pasti (PPMP), program pensiun yang manfaatnya dihitung secara pasti oleh Aktuaris. Nilai presentase yang ditetapkan antara DPPK yang satu dengan yang bisa berlainan dan akan berpengaruh pada besarnya iuran yang harus dibayarkan. Iuran yang dihasilkan dari perhitungan rumus yang ditetapkan digunakan untuk merealisasikan manfaat pensiun sesuai perhitungan aktuaris, jadi nilainya berfluktuasi.
  2. Program Pensiun Iuran Pasti (PPIP), program pensiun yang iurannya telah ditetapkan sesuai Peraturan Dana Pensiun dengan manfaat berupa keseluruhan iuran beserta pengembangan atau investasinya. Jika terjadi kenaikan upah, perusahaan pemberi kerja tidak berkewajiban membayar manfaat pensiun di masa lalu. Pembayaran PPIP bisa ditanggung oleh peserta, pemberi kerja, atau keduanya.

Besar Manfaat Pensiun dalam PPMP dihitung dengan menggunakan rumus bulanan atau sekaligus, dengan rumus 2,5% x masa kerja x PhDP.

Berdasarkan Pasal 1 ayat (5) Peraturan Menteri Keuangan RI No.50/PMK.010/2012 tentang Perubahan Ketiga atas Keputusan Menteri Keuangan No.343/KMK.017/1998 tentang Iuran dan Manfaat Pensiun, Penghasilan Dana Pensiun (PhDP) adalah sebagian atau seluruh penghasilan karyawan yang diterima dari Pemberi Kerja dan ditetapkan dalam Peraturan Dana Pensiun suatu Dana Pensiun Pemberi Kerja, sebagai dasar perhitungan besar iuran dan atau Manfaat Pensiun Peserta.

Program Pensiun Manfaat Pasti (PPMP) adalah program pensiun yang manfaatnya ditetapkan dalam peraturan Dana Pensiun. PPMP memiliki sifat kepesertaan account kolektif, bukan personal account, artinya administrasi pencatatan yang didasarkan pada perhitungan aktuaria tidak dapat dibukukan per peserta melainkan satu kesatuan untuk tiap-tiap pemberi kerja.

Mengenai pembayaran manfaat dana pensiun diatur dalam Pasal 13 Peraturan Menteri No. 50 Tahun 2012, yaitu Peserta Dana Pensiun Pemberi Kerja (DPPK) dengan skema PPMP, pembayaran manfaat secara sekaligus dilakukan apabila manfaat bulanan peserta maksimal Rp. 1.500.000,- atau sekaligus dibawah Rp. 500.000.000,-.

Perlu diketahui bahwa menyangkut pembayaran uang pesangon pekerja yang diatur dalam UU Ketenagakerjaan, untuk pekerja telah memasuki masa pensiun, apabila pengusaha mengikutsertakan pekerja dalam kepesertaan manfaat dana pensiun yang iurannya dibayarkan oleh pekerja dan pengusaha, maka perhitungan uang pesangon akan dikurangi iuran pengusaha yang sudah dibayarkan untuk manfaat dana pensiun.

Contoh putusan kasasi No. 47 K/Pdt.Sus-PHI/206 yang membatalkan putusan Pengadilan Hubungan Industrial No. 294/Pdt.Sus-PHI/2014/PN.JKT.PST antara PT. Aetra Air Jakarta, PDAM DKI Kota Jakarta dan DAPENMA PAMSI melawan Maisril, dkk, menegaskan mengenai perhitungan uang pesangon yang diatur dalam Pasal 156 UU Ketenagakerjaan terkait dengan pekerja yang diikutsertakan dalam kepesertaan dana pensiun.

Para Termohon Kasasi adalah karyawan dari PDAM DKI Jakarta yang diperbantukan pada PT. Aetra Air Jakarta dengan masa kerja antara 26 sampai 33 tahun. Dalam perkara ini, Para Termohon Kasasi yang dahulu sebagai Penggugat mempermasalahkan mengenai pemotongan uang pesangon yang diterima oleh Para Termohon Kasasi. Pesangon yang diberikan kepada Para Termohon Kasasi dipotong atau diperhitungkan dengan iuran pengusaha untuk manfaat dana pensiun pekerja yang sudah dibayarkan.

Pengadilan Hubungan Industrial memutuskan bahwa Para Tergugat (pengusaha) membayar selisih kekurangan uang kompensasi pemutusan hubungan kerja karena pensiun kepada masing-masing Penggugat. Mahkamah Agung pada tingkat kasasi dalam perkara ini memutuskan membatalkan Putusan Pengadilan Hubungan Industrial.

Read More