STRATEGI BAGI PERUSAHAAN PERKEBUNAN MENGHINDARI TUDUHAN PELAKU KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN

MENGHINDARI TUDUHAN PELAKU KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN

Kebakaran hutan dan lahan (karhutla) merupakan bencana yang kerap melanda Indonesia. Karhutla di Indonesia terjadi hampir setiap tahun sejak tahun 1997 hingga saat ini. Selain dikarenakan musim kemarau yang berkepanjangan, aktifitas masyarakat dalam membuka lahan yang dilakukan dengan sengaja serta kelalaian kini menjadi sorotan publik.

Seperti diketahui, hampir selalu tudingan pelaku karhutla adalah perusahaan perkebunan, hal itu dikarenakan diubahnya Pasal 49 UU 41 tahun 1999 tentang Kehutanan dengan UU Cipta Kerja mengatur bahwa “Perusahaan pemegang izin tetap berkewajiban menjaga dan melakukan pengendalian areal konsesinya dari ancaman kebakaran hutan dan lahan (Karhutla)”. Artinya adalah tanggung jawab perusahaan dalam karhutla justru makin berat karena selain dilarang membakar juga wajib melakukan pencegahan dan pengendalian kebakaran hingga radius 2-5 km di luar batas konsesinya.

Penegakan hukum karhutla pada perusahaan dilakukan pemerintah sebenarnya bukan untuk mengejar kesalahan, namun dibentuk untuk memberi efek jera, sekaligus melakukan pembinaan. Namun faktanya terkadang Pemegang izin lah yang paling disorot untuk wajib bertanggung jawab atas areal konsesinya meskipun di luar areal tanpa memperhatikan upaya-upaya yang apa telah disupport oleh Pemerintah setempat.

Berdasarkan data Sipongi KLHK sampai Agustus 2023 sekitar 267 ribu Ha, sementara total luas karhutla di tahun 2019 tercatat 1,6 juta ha, dan pada tahun 2015 seluas 2,7 juta ha.

Dikutip data pantauan citra satelit MENLHK melalui Websitenya pada tahun 2015 dan 2023, jumlah hotspot juga terus menurun. Berdasarkan data satelit Terra/Aqua Nasa confident level >80% jumlah hotspot tahun 2015 sebanyak 70.971 titik, sementara pada tahun ini, sampai 7 Oktober 2023 berdasarkan pantauan Satelit Terra/Aqua (NASA) dengan confident level high hanya sebanyak 7.307 titik.

Jika dibandingkan dengan Tahun 2022 (Januari s.d. Agustus), luas karhutla di Indonesia mengalami kenaikan seluas 128.426,47 ha. Namun, wilayah konvensional rawan karhutla seperti Riau mengalami penurunan 1.592 ha, Sumut mengalami penurunan 4.535 ha, dan Jambi mengalami penurunan seluas 445 ha.

Selain itu, karhutla pada tahun 2023 ini terjadi di Kawasan Hutan (wilayah kelola KLHK) seluas 135.115,68 Ha (± 50,4%) dan Areal Penggunaan Lain (APL) atau wilayah non kelola KLHK seluas 132.819,91 Ha (± 49,6%) dari total luas karhutla di Indonesia.

MENGHINDARI TUDUHAN PELAKU KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN

Dikutip berdasarkan data dari MENLHK bahwa Provinsi dengan luas karhutla tertinggi meliputi Karhutla di Kalimantan Barat terjadi pada kawasan hutan seluas 1.438,69 Ha, Karhutla di Kalimantan Selatan seluas 24.588,89 ha dengan karhutla mayoritas berada pada areal non hutan seluas 24.456,53 ha, Nusa Tenggara Barat seluas 26,453,82 ha, Nusa Tenggara Timur seluas 50.396,79 ha Papua Selatan seluas 22.121,31 ha, Jawa Timur seluas 18.780,94 ha.

Meskipun dalam data statistik menunjukkan penurunan bencana KARHUTLA ditiap tahunnya. Upaya penegakan hukum juga terus dilakukan KLHK melalui Dirjen Gakkum KLHK dengan melakukan Penegakan hukum berlapis akan diterapkan melalui penegakan hukum administratif, termasuk pengenaan sanksi pencabutan izin, gugatan perdata ganti rugi, dan pidana.

Padahal penyebab karhutla didominasi dari letak geografis Negara Republik Indonesia yang berada di antara dua Samudera yang membuatnya rentan terhadap fenomena iklim yang memperparah karhutla. Fenomena yang sering terjadi seperti El Nino dan IOD positif, di mana kedua iklim tersebut dapat menyebabkan kekeringan dan rendahnya curah hujan di Indonesia. Tahun-tahun dengan IOD positif lebih mempengaruhi karhutla dibandingkan dengan El Nino.

Selain itu juga penyebab terjadinya karhutla dikarenakan minimnya kesadaran dan pengetahuan dari oknum warga masyarakat yang kerap membuka hutan dan lahan dengan cara membakar. Karena menilai dari sisi ekonomis bahwa membuka lahan dengan cara membakar lebih cepat, praktis dan tidak memerlukan banyak biaya tanpa memperhatikan dampak buruknya bagi ekologis dan kerusakan lingkungan serta ekosistem. Tidak hanya itu, salah satu penyebabnya juga dilakukan oleh adanya ulah tangan-tangan jahil warga masyarakat yang sedang memancing ikan dipinggiran sungai/ kanal, berburu binatang dihutan secara sengaja dan atau tidak sengaja membuang puntung rokok ke areal lahan/ hutan yang kering dan tandus sehingga mengakibatkan kebakaran pada areal tersebut.

Data lembaga think-tank non-profit yang proaktif, independen dan fokus dalam pengembangan strategi dan peraturan nasional industri kelapa sawit menunjukkan bahwa kebakaran hutan dan lahan tidak secara sistematis terkait dengan perkebunan kelapa sawit. Bahkan, provinsi-provinsi yang tidak memiliki perkebunan kelapa sawit juga mengalami kebakaran hutan yang signifikan. Oleh karena itu, tidak dapat disimpulkan bahwa perkebunan kelapa sawit adalah penyebab utama dari kebakaran hutan dan lahan.

Berdasarkan hasil penelitian Pusat Penelitian Kelapa Sawit, Pengaruh Kabut Asap Karhutla terhadap Perkebunan Kepala Sawit justru memberikan dampak sendiri bagi para Perusahaan Perkebunan Kelapa Sawit seperti:

  1. Dampak kekeringan dapat menurunkan 28-41 persen produktivitas dan 0.6-2.5 persen rendemen Tandan Buah Segar (TBS) maupun Crude Palm Oil (CPO).
  2. Akibat kabut asap membuat proses pembentukan dan pertumbuhan buah kelapa sawit terganggu sehingga menurunkan produktivitas sekitar 0.2-5.5 persen.

Sehingga Sulit diterima akal sehat bahwa Perkebunan kelapa sawit baik secara individu maupun secara kolektif khususnya Perusahaan melakukan pembakaran yang justru akan merugikan dirinya sendiri.

Menurut Kementerian Kesehatan, beberapa dampak kebakaran hutan terhadap ekologis dan kerusakan lingkungan, di antaranya adalah:

  1. Terjadinya erosi akibat musnahnya hutan dengan tanamannya akibat kebakaran hutan.
  2. Meningkatnya potensi bencana alam, dengan terganggunya ekologi hutan akibat kebakaran akan meningkatkan potensi beberapa bencana alam lain seperti longsor, banjir hingga kekeringan;
  3. Hilangnya beberapa spesies akibat terbakarnya berbagai spesies endemik flora maupun fauna.
  4. Terjadinya pemanasan global akibat asap dan gas karbon dioksida (CO2) yang dikeluarkan, selain itu juga akan menurunkan kemampuan hutan sebagai penyimpan karbon.
  5. Sedimentasi sungai akibat debu dan sisa pembakaran yang terbawa erosi yang mengendap, sehingga menyebabkan pendangkalan.

Tidak hanya itu, tanpa disadari terjadinya Karhutla juga dapat mengancam investasi sebagai pelaku usaha di berbagai Sub Sektor, khususnya dalam bidang Sumber Daya Alam seperti sub sektor Kehutanan, sub sektor Pertanian, dan sub sektor Perkebunan sebagai pemilik izin konsesi (Izin Hak Guna Usaha).

Bagaimana tidak, Perusahaan dituntut oleh Pemerintah sebagai garda terdepan untuk bertanggung jawab atas izin usaha yang diterimanya baik di dalam izin Hak Guna Usaha maupun di luar areal izinnya sekitar wilayah terdampak.

Aturan Tegas Tentang Karhutla

Perusahaan sebagai Investor dan pelaku usaha tentu sangat sadar dan berhati-hati dalam memperhatikan aspek lingkungan dan kelestarian lingkungan baik sejak melaksanakan land clearing, pemeliharaan kebun/ pertanian maupun pengolahan pasca pemanenan, tidak dilakukan dengan pembakaran atau perbuatan-perbuatan yang akan berakibat merusak lingkungan, sebagaimana  diamanatkan dalam:

  1. Pasal 13 Peraturan Pemerintah No. 4 Tahun 2001 tentang Pengendalian Kerusakan Dan Atau Pencemaran Lingkungan Hidup Yang Berkaitan Dengan Kebakaran Hutan Dan Atau Lahan (selanjutnya cukup disebut PP No. 4/2001) menyatakan: ”Setiap  penanggung jawab  usaha  yang  usahanya  dapat menimbulkan  dampak  besar  dan  penting  terhadap  kerusakan dan/atau  pencemaran  lingkungan  hidup  yang  berkaitan  dengan kebakaran  hutan  dan/atau  lahan  wajib  mencegah  terjadinya kebakaran hutan dan/atau lahan di lokasi usahanya”;
  2. Pasal 17 PP No. 4/2001 menyatakan : ”Setiap orang  berkewajiban  menanggulangi  kebakaran  hutan dan/ atau lahan di lokasi kegiatannya”;
  3. Pasal 20 PP No. 4/2001 menyatakan: ”Setiap orang  yang  mengakibatkan  terjadinya  kebakaran  hutan dan/atau  lahan  wajib  melakukan  pemulihan  dampak  lingkungan hidup”;
  4. Undang-Undang 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan, Pasal 56 ayat (1) disebutkan: melarang perusahaan perkebunan membuka dan/atau mengolah lahan dengan cara membakar”;
  5. Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Pasal 49 berbunyi: “Pemegang hak atau izin bertanggung jawab atas terjadinya kebakaran hutan di areal kerjanya”.

Adapun ancaman hukuman Pelaku Karhutla khusus Perorangan sebagaimana Pasal 108 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan yang berbunyi: ” setiap=”” orang=”” yang=”” melakukan=”” pembakaran=”” lahan=”” sebagaimana=”” dimaksud=”” dalam=”” pasal=”” 69=”” ayat=”” (1)=”” huruf=”” h,=”” dipidana=”” dengan=”” pidana=”” penjara=”” paling=”” singkat=”” 3=”” (tiga)=”” tahun=”” dan=”” lama=”” 10=”” (sepuluh)=”” denda=”” sedikit=”” rp3.000.000.000,00=”” (tiga=”” milyar=”” rupiah)=”” banyak=”” rp10.000.000.000,00=”” (sepuluh=”” rupiah)”.<=”” em=””>

Sedangkan untuk pelaku Karhutla Badan Hukum Perusahaan diatur di dalam Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, sebagaimana Pasal 98 ayat (1) Undang, yang berbunyi: “Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan yang mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling sedikit Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).”

Disisi Internal Perusahaan, tentu tidak mau mengalami kerugian sekaligus menerima kesalahan baik berupa sangksi maupun Denda apabila terjadi karhutla dilingkungannya yang disebabkan karena adanya faktor minimnya edukasi maupun unsur kesengajaan atas ulah tangan-tangan usil oknum yang tidak bertanggung jawab yang sengaja melakukan pembukaan lahan dengan cara dibakar. Untuk itu, upaya pencegahan dan pengendalian kebakaran hutan mutlak harus dilaksanakan secara serius, bersama-sama (kolaboratif), bersinergi oleh seluruh komponen masyarakat terma- suk dunia usaha, khususnya bidang Sumber Daya Alam Sub sektor Kehutanan, Sub sektor Pertanian, dan Sub sektor Perkebunan wajib melakukan upaya pencegahan dan pengendalian kebakaran hutan dan lahan dengan menaati seluruh ketentuan dalam peraturan perundang-undangan antara lain sebagai berikut:

  1. Melengkapi sarana dan prasarana pemadam kebakaran seperti Mesin Shibahura, Teropong Binokuler, Sepatu Safety, Masker, deligan Roll Selang, Helm, Pluit dan Sarung Tangan;
  2. Membuat Menara Pantau, agar mudah melakukan pengawasan terhadap titik rawan kebakaran diareal perkebunan;
  3. Pemantuan menggunakan drone, atau pemantauan menggunakan kamera CCTV sensor termal yang dipasang di menara.
  4. Membuat umbung air untuk tempat penampungan air di titik-titik rawan kebakaran agar mempermudah Tim Pemadam Kebakaran mencari air jika sewaktu-waktu terjadi kebakaran;
  5. Melarang para pemancing liar menangkap ikan diareal perkebunan;
  6. Membuat poster-poster tentang larangan merokok diareal perkebunan yang dapat menyulut api pada lahan gambut dan larangan membakar hutan dan lahan;
  7. Membuatkan sekat-sekat kanal untuk pengaturan hidrologi air pada lahan gambut. Dengan begitu tanahnya jadi lembap dan basah sehingga tidak mudah terbakar, terutama saat musim kemarau;
  8. Tim Keamanan Kebun melakukan patroli dan pengawasan rutin pada tempat-tempat yang memang rawan terjadi kebakaran, terutama saat musim kemarau;
  9. Memberdayakan dan memfasilitasi masyarakat untuk membentuk suatu Kelompok seperti Kelompok Tani perduli Api (KTPA), Pemberdayaan Masyarakat Peduli Api (MPA), dan lain sebagainya untuk melakukan patroli dan pengawasan rutin pada tempat-tempat yang memang rawan terjadi kebakaran, terutama saat musim kemarau;
  10. Menyediakan alarm peringatan saat kebakaran terjadi sehingga petugas pemadam kebakaran dan warga cepat bertindak untuk memadamkan api sebelum menyebar luas;
  11. Melakukan pemetaan di wilayah-wilayah yang rawan terjadi kebakaran hutan dan lahan dan pemetaan terhadap oknum-oknum warga masyarakat setempat supaya semua pihak lebih fokus untuk melakukan pengawasan;

Ketika semua sudah dilakukan dengan matang dan berjalan dengan maksimal, terkadang ada saja ditemukan titik api disekitar areal perkebunan kebanyakan diluar izin usaha perkebunan yang berimbas kedalam areal izin Hak Guna Usaha (HGU), yang tentunya mengakibatkan adanya temuan spot titik api oleh Dirjen Penegakan Hukum Lingkungan Hidup KLHK hingga berujung dilakukan Penyegelan terhadap areal izin perkebunan bahkan terancam pencabutan izin usaha dan terkena Denda dan Sanksi hingga hukuman pidana penjara bagi pimpinan Direksi Perusahaan.

Padahal akibat kebakaran yang dapat saja bersumber dari Desa sekitar kebun membuat Perusahaan sebagai Investor yang akan menanggung  kerugian Materil, diantaranya berupa Biaya  Ganti  Pemulihan  Lingkungan  Hidup, yang  Meliputi :

  1. Biaya Pemulihan (Pembelian Kompos, Biaya Angkut, Biaya penyebaran kompos);
  2. Biaya Untuk Mengaktifkan Fungsi Ekologis Yang Hilang;
  3. Biaya Pembangunan/  Perbaikan  System  Hidrologi (Water Management) Dilahan  Gambut yang terbakar;
  4. Biaya Revegetasi untuk mengganti  tanaman  kelapa  sawit  yang mati  akibat  terbakar, dan;
  5. Biaya Pengawasan Pelaksanaan Pemulihan (Biaya pengawasan yang  dibutuhkan  dalam  rangka melakukan  pengawasan  atas tanaman sawit yang terbakar selama 10 (sepuluh) tahun).

Sebagaimama putusan yang dijatuhkan kepada perusahaan yang dihukum melakukan pembakaran baik karena sengaja atau karena kelalaian

  1. Putusan No: 527 PK/Pdt/2023 Jo. No.39/Pdt.G/LH/2020/PN.PBu tanggal 23 September 2021 menghukum PT. Kumai Sentosa membayar gantirugi sebesar Rp. 175.179.930.000;- dan menghukum PT. Kumai Sentosa untuk melakukan tindakan pemulihan lingkungan hidup pada areal tersebut.
  2. Putusan 808 PK/PDT/2020 Jo. No.547/Pid.Sus/2014/PN.Bls Tanggal 22 Januari 2015 menghukum PT. National Sago Prima membayar gantirugi sebesar Rp. Rp.319.168.422.500 dan biaya pemulihan Rp.753.745.500.000;-.
  3. Putusan 1561 K/Pdt/2018 Jo. No.456/Pdt.G-LH/2016/PN.JKT SEL Tanggal 30 Januari 2017 menghukum PT. Waringin Agro Jaya membayar gantirugi sebesar Rp. 173.468.991.700,00 dan biaya pemulihan Rp.293.000.000.000;-

Upaya Pemadaman dan Upaya Pencegahan Karhutla

Menurut “INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2020 TENTANG PENANGGULANGAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN” kepada semua Instansi terkait untuk ikut bertanggung jawab dalam mengantisipasi terjadinya kebakaran hutan dan lahan diwilayahnya masing-masing.

Apabila terjadi kebakaran di areal perkebunan maka lakukan tindakan sebagai berikut:

  1. Lakukan isolasi dan pengendalian kebakaran di dalam kebun sendiri dengan tenaga penuh SATGAS sendiri sampai Ketua SATGAS sebaiknya ikut berada di lapangan.
  2. Investigasi asal api penyebab kebakaran, apakah dari perusahaan atau dari luar. Jika api berasal dari luar areal kebun perusahaan maka harus membuat laporan kejadian di Polsek/Polres dilengkapi upaya-upaya yang telah dilakukan. Jika api berasal dari dalam kebun, lakukan investigasi orang yang bertanggung jawab kemudian laporkan ke managemen.
  3. Dalam hal kebakaran lahan perkebunan tidak dapat dipadamkan, SATGAS berkoordinasi dengan Brigade dan/atau satuan pemadam kebakaran seperti KTPA, Manggala Agni, dinas pemadam kebakaran setempat atau SATGAS pada perusahaan perkebunan lainnya. Secara pararel buat laporan ke Polsek/Polres, BNPB/BPBD terdekat dan catat kepada siapa dan waktu pelaporan.
  4. Apabila kebakaran di dalam kebun sudah terkendali, tenaga operasional yang diperbantukan (regu pendukung) dapat ditugaskan kembali ke pos
  5. Apabila kebakaran di dalam kebun sudah terkendali dan diluar kebun masih belum terkendali, manajer dan Ketua SATGAS berkoordinasi dengan pimpinan pengendali di lapangan (BNPB/BPBD atau DAMKAR) untuk membantu dengan 50% kapasitas kekuatan regu pemadam kebakaran yang tersedia, sedangkan 50% kekuatan sisanya berjaga-jaga di kebun
  6. Ketua SATGAS mengatur pertukaran tenaga yang bekerja di luar dan di dalam
  7. Apabila diperlukan, sebagian dari 50% kekuatan yang berjaga-jaga di kebun sendiri dapat membantu pemadaman di luar dengan memprioritaskan keamanan di kebun Bantuan dilakukan sampai kebakaran di luar terkendali.
  8. Apabila kebakaran telah terkendali, Ketua SATGAS melapor dan undur
  9. Regu pemadam kebakaran membuat laporan kebakaran lahan perkebunan dengan format yang sesuai.

Adapun Pedoman setelah terjadi kebakaran yakni :

  1. SATGAS menginventarisasi tindakan yang telah dilakukan dari mulai pencegahan (termasuk operasional kebun) sampai dengan terjadinya kebakaran.
  2. SATGAS menginventarisasi semua kegiatan (termasuk operasional kebun) yang telah dilakukan oleh perusahaan terkait Karhutla.
  3. SATGAS menyiapkan laporan kesiapan sarana dan prasarana hasil dari butir IV A. 6.
  4. SATGAS menyiapkan laporan organisasi dan kesiapan personal hasil dari butir IV.A.3.d. dan pastikan bahwa regu pemadam kebakaran tidak dalam keadaan cuti, ditugaskan ditempat lain atau keadaan lainnya.
  5. SATGAS menyiapkan laporan kegiatan pelatihan (capacity building) seluruh anggota terkait karhutla yang telah dilakukan selama ini, termasuk kegiatan sosialisasi/apel siaga yang telah diikuti.
  6. SATGAS mengumpulkan laporan terkait dengan pengelolaan limbah B3
  7. SATGAS melakukan inventarisasi akibat kebakaran yang mencakup koordinat lahan yang terbakar, luasan lahan yang terbakar, tahun tanam dan peta sebaran lahan yang terbakar serta kronologi tindakan penanggulangan yang telah dilakukan.
  8. Bagian legal perusahaan perlu mendampingi SATGAS, jika diperlukan untuk menghadapi pemeriksaan lebih lanjut.

Kebanyakan kasus yang sering terjadi dengan sumber api berasal dari luar lahan perkebunan milik perusahaan, karena pasifnya Pemerintahan Setempat seperti Kepala Desa yang kurang aktif melakukan penyuluhan dan penghimbauan tentang Karhutla kepada warga masyarakatnya sehingga mereka yang terpencil yang awam tentang peraturan yang berlaku dan kurangnya edukasi dapat mengerti dan takut akan sanksi-sanksinya.

Berdasarkan Pasal 26 ayat (4) Undang-Undang Republik Indonesia No. 6 Tahun 2014 tentang Desa, jelas diatur bahwa seharusnya perangkat Desa selaku Pejabat pemerintah setempat harus lebih pro aktif mengawal wilayah desanya untuk bersama-sama mencegah terjadinya kebakaran dimusim kemarau yang berkepanjangan ini dan terus menghimbau warga desanya masing-masing agar tidak membuka lahan dengan cara membakar. Karena potensi ancaman karhutla terbesar ada pada warga masyarakat sekitar yang kurang edukasi dari Pemerintah Setempat.

Sesuai ketentuan Pasal 26 ayat (2) huruf n Undang-Undang Republik Indonesia No. 6 Tahun 2014 tentang Desa, tegas menyatakan bahwa Kepala Desa mewakili Desa di dalam dan di luar pengadilan. Karenanya terhadap terjadinya kebakaran diluar maupun didalam izin HGU Perusahaan yang berasal dari Desa-desa setempat maka Perangkat Desa setempat menjadi pihak yang paling bertanggung jawab untuk mewakili Desanya.

Upaya Untuk Menghindari Tuduhan Sebagai Pelaku Karhutla

Sebagai pelaku usaha perkebunan, Perusahan Perkebunan perlu memiliki langkah strategis dan effektif untuk menghindari tuduhan sebagai pelaku Karhutla, sebagai berikut:

  1. Pedomani tatacara pencegahan dan pemadaman sebagaimana ketentuan dalam INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2020 TENTANG PENANGGULANGAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN;
  2. Perusahaan Perkebunan haruslah proaktif untuk melakukan advokasi dan penyadaran kepada masyarakat sekitar kebun melalui Kepala Desa setempat;
  3. Bangun jaringan komunikasi dengan Kepala Desa/Kepala Kelurahan, Kecamatan, Bupati, Instansi terkait lainnya, agar para stake holder tersebut dapat memonitor perkembangan untuk menunjukan peran aktif perusahaan dalam melakukan penyadaran kepada masyarakat;
  4. Membuat papan – papan peringatan agar tidak membuka lahan dengan jalan membakar;
  5. (cek langkah-langkah preventif);
  6. Siapkan drone yang akan memonitor sumber titik api;
  7. Pada saat terjadi kebakaran, maka buat segera pelaporan pidana kepada kepolisian setempat dengan menunjuk siapa pelaku.
  8. Demikian juga buat segera laporan kepada petugas kehutanan, agar menghindari tuduhan telah abai atau lalai mencegah kebakaran;

Seluruh upaya diatas adalah bagian dari pembuktian, agar menghindari tuduhan sebagai pelaku Karhutla, dan juga menghindari tudahan melakukan kelalaian (sebagaimana diancam dalam Undang-undang sebagai berikut :

Pasal 99 ayat (1), berbunyi: “Setiap orang yang karena kelalaiannya mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).”

Pasal 116 huruf c dan d berbunyi :

Apabila tindak pidana lingkungan hidup dilakukan oleh, untuk, atau atas nama badan usaha, tuntutan pidana dan sanksi pidana dijatuhkan kepada:

  1. badan usaha; dan/atau
  2. orang yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana tersebut atau orang yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan dalam tindak pidana tersebut.

Jika diperlukan, dapat menggugat lebih dahulu kepada pelaku pembakaran agar Penggugat terhindar dari tuduhan sebagai pelaku, yakni melayangkan gugatan Perbuatan Melawan Hukum (PMH), baik kepada pelaku dan/atau ke Kepala Desa. Berdasarkan ketentuan Pasal 26 ayat (1) dan (4) UU RI tentang Desa berbunyi :

  • Ayat (1), “Kepala Desa bertugas menyelenggarakan Pemerintahan Desa, melaksanakan Pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan masyarakat Desa”.
  • Ayat (4) huruf a s/d p, “Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud, Kepala Desa berkewajiban menaati dan menegakkan peraturan perundang-undangan, menjalin kerja sama dan koordinasi dengan seluruh pemangku kepentingan di Desa, membina dan melestarikan nilai sosial budaya masyarakat Desa dan memberikan informasi kepada masyarakat Desa”.

Perlunya gugatan perdata juga akan mencegah intensifnya proses pidana sebagaimana norma hukum prejudicil geschil yang diatur dalam Pasal 81 KUHP Jo. PERATURAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 1 TAHUN 1956 MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA berbunyi :

Pasal 1

“Apabila dalam pemeriksaan perkara pidana harus diputuskan hal adanya suatu hal perdata atas suatu barang atau tentang suatu hubungan hukum antara dua pihak tertentu, maka pemeriksaan perkara pidana dapat dipertangguhkan untuk menunggu suatu putusan pengadilan dalam pemeriksaan perkara perdata tentang adanya atau tidak adanya hak perdata itu.”

Pasal 2

“Pertangguhan pemeriksaan perkara pidana, ini dapat sewaktu-waktu dihentikan, apabila dianggap tidak perlu lagi.”

Kesimpulan

Adagium yang berbunyi: “menyerang adalah pertahanan terbaik”, dalam penanganan masalah Karhutla dan upaya menghindari tuduhan sebagai pelaku Karhutla adalah tepat dan effektif untuk dilaksanakan. Namun tidak semua pelaku usaha perkebunan berani melakukan gugatan ini, apalagi jika tidak memiliki bukti kuat, dan memperhatikan dampak dari adanya gugatan kepada pelaku apalagi kepada Kepala Desa, karenanya penting bagi Pelaku Usaha Perkebunan untuk mempersiapkan pembuktian sebelum mendaftarkan gugatan karhutla ke Pengadilan Negeri tempat alamat Tergugat berdasarkan Pasal 118 HIR atau Pasal 142 RBG menyatakan “Pengadilan Negeri berwenang memeriksan gugatan yang daerah hukumnya, meliputi: Dimana tergugat bertempat tinggal”.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *